Perjalanan hidup seseorang adalah suatu takdir yang harus dilalui. Tiada kehidupan ini tanpa kesulitan, begitu pula tiada kesulitan yang tak berakhir. Yang pasti, antara kesenangan dan kesusahaan, kenikmatan dan penderitaan, kesulitan dan kemudahan akan senantiasa silih berganti menghiasi kehidupan ini oleh siapapun. Tak terkecuali oleh diriku sendiri.
Kita memang tidak tahu suratan nasib kita. Tapi membangun masa depan dengan optimisme dapat memotivasi diri untuk lebih berarti dalam hidup ini. Kesadaran akan makna kehidupan yang harus diisi dengan segala sesuatu yang bermanfaat dan panggilan rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri dapat mendorong seseorang menemukan jati dirinya tentang arti hidup atau hakekat kehidupan. Oleh karena itu agama Islam mengajarkan “ Dia akan mendapatkan dari apa yang ia usahakan dan dia tidak akan mendapat apa-apa tanpa mau berbuat sesuatu .
Firman Allah :
Artinya
Ia mendapat pahala (dari kebajikan ) yang diusahakannya dan Ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya (Q:2:286)
ternyata juga diungkapkan oleh seorang filosof Barat bernama Satre “ Man Is Nothing else but what he maker of himself “ yang diterjemahkan secara bebas bahwa “ seseorang itu bukanlah orang lain tapi ia adalah apa yang ia perbuat dari dirinya sendiri “ Dari kata filsafah dan makna ayat Al Qur’an tadi, kita dapat memetik tuntunan bahwa kita harus berbuat sesuatu agar hidup kita ini bermakna. Tentu saja sebagai seorang muslim setiap perbuatan yang kita lakukan dilaksanakan dengan iklas dan semata-mata mencari dan untuk mendapatkan ridlo Allah Swt.
Saya anak seorang guru mengaji, kebetulan dilahirkan disebuah desa yang jauh dari pengaruh kehidupan kota. Orang tua kami, keluarga petani bersahaja dengan tanah garapan yang tak seberapa luasnya, tempat kami bergulat dengan penderitaan dan kesederhanaan. Hasil pernikahan kedua orang tua kami menlahirkan 5 orang putra. 2 laki-laki dan 3 wanita. Saya anak kedua bernama Ahmad ( bukan nama sebenarnya ).
Perjalanan hidup saya tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja. Sejak berusia 13 tahun saya terpaksa harus berhenti sekolah karena berkelahi dan dikeluarkan. Selama 3 tahun saya masih berusaha bertahan dikampung halaman . Pada tahun 1996 saya bertekad mengembara ke Yogyakarta waktu itu usiaku sekitar 16 tahun.
Kedatangan saya dikota Pelajar ini langsung mondok dikrapyak. Pada waktu itu saya masih dibiayai oleh orang tua , meskipun biaya tersebut sangat tidak mencukupi. Untuk menutup kekurangan biaya, saya bekerja apa saja sambil mondok, antara lain menarik becak, berjualan telur, ikut laden tukang, ikut jualan buah-buahan, ikut memetik padi di sawah, pokoknya asal mendapat uang sekedar menutup kebutuhan kehidupan sehari-hari seorang perantau.
Pada tahun 1980 saya diterima kuliah di IAIN Sunan KaliJaga Yogyakarta. Pada suatu saat, aku duduk di tangga masjid IAIN , sambil memperhatikan mahasiswa dan mahasiswi asik bercanda, tertawa ceria. Seakan hidup mereka tanpa beban permasalahan. Aku merasa iri kepada mereka, betapa bahagia dalam hidup ini, sedang aku sendiri dalam keadaan yang kalut, jauh dari orang tua, meskipun ada kiriman dari orang tua, tidak cukup untuk kost dan biaya kuliah. Aku termenung sejenak, terasa kesendirianku membangkitkan semangat untuk mengatasi semua persoalan hidup ini dengan karya-karyaku, jika aku tidak ingin hidup terlantar atau mati terdampar.
Aku tersentak, ketika dari jauh terdengar sayup-sayup suara adzhan Ashar .Saat itu aku yakin Tuhan pasti memberi jalan bagi hambanya yang betul betul berusaha untuk merubah nasibnya. Kutunggu lama, belum juga ada adzan di Masjid IAIN. Tanpa pikir panjang aku segera ambil air wudlu dan azhan. Mungkin karena pikiran yang sedang kacau, begitu pula hatiku sedang sedih, suara adzan ku terpengaruh . lengkingan suaraku seakan –akan jeritan kepilauan hati, yang mendambakan pertolongan, merasuk kedalam relung-relung kalbu pendengarnya, menimbulkan rasa simpati yang mendalam. Ternyata salah seorang dosen IAIN yang kebetulan pengurus takmir, langsung mencari dan menemui saya. Beliau menawarkan tugas untuk menjadi Mu’adzin kepada saya dan diharapkan mau tinggal di komplek masjid. Pucuk dicinta ulam tiba. Tentu saja tawaran itu langsung aku terima. Dengan mengucap syukur saya terima tawaran dengan segala senang hati.
Mulai saat itu beban saya mulai berkurang. Tempat kost gratis makan disediakan, bahkan sekali waktu masih dikasih honor. Alhamdulillah didikan adzan oleh orang tua saya telah menolong diri saya dari sebagian beban kehidupan yang terasa menghimpit waktu itu
Masjid, awal dari kemandirianku
Keberadaanku di Masjid IAIN Merupakan awal perjuangan hidup kemandirianku terutama dalam mempersiapkan kehidupan yang lebih mapan. Kebetulan tugas yang diberikan kepada aku sebagai muadzin, saat itu menjelang puasa. Dalam bulan puasa, buka dan sahur ada yang menyediakan, dengan demikian sementara masalah makan dan tempat tinggal tak merupakan persoalan. Karena dalam bulan puasa banyak jamaah yang berdatangan, Saya mulaimerintis usaha menjual buku-buku agama, ternyata hasilnya lumayan, bahkan takmir masjid berinisiatif membuka bursa buku dan saya diberi tugas sebagai pengelolanya. Toko buku itu saya kembangkan untuk menerima ketikan dan terjemahan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dan dari hasil jerih payah inilah saya saya bisa meneruskan kuliah..
Selama tinggal dimasjid saya banyak bergaul dengan berbagai kalangan terutama dosen, pejabat dan pemuka agama. Diantara mereka ada yang sangat terkesan dihati saya, bahkan banyak memberi dorongan pada diri saya agar hidup saya ini lebih bermanfaat.
Pada suatu hari saya diberi tugas menjemput dan mengantar bapak Prof Dr. Syafii Maarif dengan mobil IAIN untuk berceramah tarwih di masjid IAIN . Pulangnya beliau memberi amplop yang diterima dari pengurus takmir kepada saya dan sekaligus saya diajak mampir ke Rumah Makan Padang. Peristiwa ini betul-betul sangat membahagiakan saya, betapa baik hati seorang pimpinan yang yang merakyat, bukan karena pemberian semata-mata tapi kerendahan hati dan keluhuran jiwanya yang membanggakan , mudah-mudahan beliau di rahmati Allah. Amin.
Bahkan keberadaan saya di Masid IAIN itulah yang mempertemukan saya dengan calon ibunya anak saya. Tatkala saya dipercaya mengelola toko buku, Terpaut hati ini dengan salah satu mahasiswa yang rajin datang di toko buku itu. Hubungan kamipun semakin dekat, bahkan kami bertekad untuk kelak akan membangun rumah tangga bersama jika kami telah menyelesaikan studi. Tahun 1984 saya berhasil mendapatkan ijazah Sarjana Muda. Tapi orang tua tidak sanggup lagi menanggung biaya kuliah, kiriman orang tua tiap bulan terputus, karena orang tua harus menanggung adik saya sekolah dan kuliah, oleh karena itu saya dilepas untuk bersikap mandiri, mau tidak mau, saya tentu tidak ingin mati konyol di kota besar. Saya harus mampu berbuat sesuatu untuk mencukupi kebutuhan saya sendiri untuk makan, pakaian, tempat tinggal bahkan biaya kuliah. Inilah saat-saat yang sangat kami rasakan betapa makna hidup itu sebagai suatu perjuangan yang penuh dengan tantangan, cobaan bahkan rintangan. Tapi semua itu saya hadapi dengan penuh ketabahan, kesabaran dan yawakal. Kami yakin Tuhan akan memberi jalan kepada hambaNya yang sudah berusaha semampu daya dan tenaga dengan tak lupa mohon pertolonganNya.
Bermula dari kegiatan pengetikan dan penterjemahan, saya mempunyai seorang langganan tetap . Orang Jawa mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino”. Begitulah, karena seringnya bertemu itu, hati kami terpadu, jalinan cinta kasih mulai bersemi dan tumbuh menjadi sebuah tekad yang bulat hasrat untuk membangun sebuah rumah tangga bersama. Akan tetapi proses hubungan kami ternyata penuh halangan dan rintangan. Orang tua calon pendamping hidupku tidak merestui hubungan kami. Kami pantang mundur, dengan segala ihtiar kami lalui, pendekatan kekeluargaan kami jalani dan atas kegigihan perjuangan kami menggapai hastrat, akhirnya calon mertua saya bisa merestui pernikahan kami. Hal itu masih dengan catatan tidak akan diberi bantuan finansial. Kami tetap bersyukur atas restu setengah hati itu, soal rezeki Tuhan yang mengatur. Dan akhirnya kami menikah pada tahun 1990.
Sebagai seorang perantau, ketika saya menjadi mahasiswa banyak mengisi kehidupan ini dengan berbagai kegiatan , baik kegiatan akademik, social dan keagamaan. Kami pernah berada di desa playen, Gunung kidul untuk melaksanakan KKN. Kegiatan ini kami isi dengan kegiatan agama, social, ekonomi dan budaya. Diantara kegiatan ekonomi kami membina kelompok ternakan lembu. Untuk persediaan makanan lembu kami anjurkan menanam rumput kolojono. Dari kegiatan ini saya sempat dipanggil oleh Asia Fondation atas usaha sebuah LSM di Jakarta untuk dididik di UI Jakarta selama 6 bulan tentang demografi. Kami juga merintis berdirinya sebuah masjid di tempat itu dan Alhamdullilah masjid tersebut sampai sekarang masih tegak berdiri dengan kokoh.
Sebagai seorang mahasiswa yang segala sesuatu kebutuhan harus menanggung sendiri, studi saya sedikit tersendat, maklum tidak dapat konsentrasi. Pada suatu saat saya dipanggil oleh bapak dekan fakultas adab Bapak Dr Nourroman Ash-shidqi Beliau meminta saya segera menyelesaikan kuliah, karena beliau sudah muak meliat tampang saya. sebab saya disamping sudah terlalu lama juga sering terlibat dalam demontrasi. Saya menyanggupi tapi saya mohon bantuan beliau membantu saya. saya diberi pinjaman mesin ketik brother dan uang Rp 15.000,- untuk photo copy. Akhirnya saya berhasil dalam pendadaran sebagai sarjana pada tahun 1988. Setelah saya lulus ujian, saya diminta mengikuti wisuda sebagai pelantikan secara resmi status saya sebagai sarjana IAIN.
Pada malam wisuda itu, saya bingung, pikiran saya menerawang masa depan, berbagai pertanyaan muncul, apa yang akan saya kerjakan setelah saya selesai studi jika saya pulang kampung disana saya akan kerja apa ? jika tetap di yogya apa yang akan saya lakukan ? Dalam kebingungan saya keluar. Saya berjalan kaki dari Masjid IAIN di demangan ke masjid besar Alun-alun Utara Yogyakarta. Sepanjang jalan saya membaca kalimat tahlil, tasbih, tahmid dan takbir.
Karena kekhusukan saya berdzikir, tak terasa diperjalanan, sampai saya dimasjid kauman tepat jam 02.00 WIB malam, saya berniat sholat malam di dalam masjid, tapi semua pintu masuk ke komplek Masjid terkunci, saya nekat meloncat pagar, berwudhu dan sholat malam. Tanpa saya sadari ternyata tingkah laku saya diawasi oleh para petugas ronda. Saya dicurigai sebab sat itu sedang panas-panasnya peristiwa ninja. Saya digelandang ke pos ronda dan di interograsi , untunglah salah satu dari orang yang bertkerumun ada yang mengenal saya, Selamatlah saya dari kecurigaan orang banyak. Saya dilepas, kemudian saya kembali lagi ke Masjid untuk msholat shubuh. Selesai Sholat sshubuh saya bergegas pulang ke Masjid IAIN karena hari itu akan wisuda. Dengan berlari-lari kecil akhirnya saya sampai di Masjid IAIN pukul 06.30 WIB pagi. Di kampus sudah banyak mahasiswa beserta keluarganya yang sudah siap merayakan peristiwa bersejarah itu., Saya pun dapat mengikuti prosesi wisuda meski tanpa kehadiran oleh satupun dari keluarga kecuali calon istri yang dengan setia menyambut hari kemenangan kami . Menang dalam perjuangan melawan nasib diperantauan.
Perjalan hidup ini panjang Insya Allah, perjuangan belum berakhir. Namun kami yakin suatu saat nantinya saya akan menghadap kehadiratNya. Jadikalah hidupmu sebagai seorang musafir, kelak akan kembali ke tempat asal, maka isilah saat kehidupan dengan
Selasa, 26 Agustus 2008
JADIKANLAH HIDUPMU BAGAIKAN SEORANG MUSAFIR DAN KELAK AKAN KEMBALI KE TEMPAT ASALMU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar